Ahli dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Azrul Azwal menilai Pasal 108 ayat 1 UU No 36/2009 tentang Kesehatan menghambat pembangunan. Sebab, pasal tersebut membatasi layanan kesehatan yang bisa dilakukan tenaga medis non-dokter.
Padahal saat ini jumlah dokter yang ada di Indonesia tak sebanding dengan jumlah populasi, sehingga mayoritas masyarakat tak bisa dirawat oleh dokter. Dalam keterangannya di depan hakim konstitusi, dia mencatat tidak ada dokter di sekitar 40 persen Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di negeri ini.
Akibatnya, masyarakat merugi karena tak mendapat layanan kesehatan yang memadai. Pembangunan pun otomatis terhambat jika masyarakat sakit.
"Jangan kita membuat UU yang menghambat pembangunan. Saya mengimbau pasal ini dikaji ulang,” tutur Azrul saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang uji materi UU Kesehatan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (16/6/2010).
Menurut Azrul, sebelum pemerintah bisa menyediakan dokter bagi seluruh rakyat Indonesia, semestinya negara tidak melarang tenaga medis lain untuk memberikan layanan kesehatan yang diperlukan.
"Seharusnya kita memberikan kewenangan kepada siapa saja untuk mencapai tujuan pembangunan," tegasnya.
Dosen yang juga dokter ini berpendapat aturan dalam UU Kesehatan juga saling bertentangan, karena tenaga kesehatan tak boleh menolak pasien, namun pegawai medis selain dokter dibatasi kewenangannya memberikan obat.
Permohonan judicial review ini dimohonkan oleh mantri desa Misran yang bertugas di Kuala Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kasus tersebut bermula ketika hakim Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong yang diketuai oleh Bahuri dengan hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah memutus hukuman 3 bulan penjara, denda Rp 2 juta subsider 1 bulan pada 19 November 2009.
Hakim menjatuhkan hukuman berdasarkan UU 36/ 2009 tentang Kesehatan Pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan yaitu Misran tak punya kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter. Putusan ini lalu dikuatkan oleh PT Samarinda, beberapa waktu lalu. Akibat putusan pengadilan ini, 13 mantri memohon keadilan ke MK karena merasa dikriminalisasikan oleh UU Kesehatan.